Blogroll

Jumat, 10 April 2015

something trivial.. .


 1. Suami istri, hendaknya saling menumbuhkan suasana mawaddah dan rahmah. (Ar-Rum: 21)
 2. Hendaknya saling mempercayai dan memahami sifat masing-masing pasangannya.
 (An-Nisa’: 19 -  Al-Hujuraat: 10)
 3. Hendaknya menghiasi dengan pergaulan yang harmonis. (An-Nisa’: 19)
4. Hendaknya saling menasehati dalam kebaikan. (Muttafaqun Alaih)
  

Dalam sebuah pernikahan, idealnya kita dapat menerapkan ke-empat point diatas. Namun, tidak sedikit juga yang masih kesulitan dalam menjalani semua point itu. Termasuk dengan saya bersama suami, point nomer 2 masih sulit untuk kami aplikasikan. 

Pernikahan kami baru seujung kuku, belum ada apa-apanya. Baru hendak memasuki usia 3 bulan. Tapi tak dipungkiri bahwa untuk mempercayai dan memahami sifat masing-masing kami masih mengalami kesulitan. Mungkin tingkat ego yang masih sama-sama tinggi. Mengingat usia saya dan suami juga setara, hanya berbeda beberapa bulan saja. 

Sebelum menikah, saya sempat ragu untuk mengambil keputusan ini. Bukan ragu terhadap calon suami, tetapi ragu untuk diri saya sendiri. Mengingat saya adalah tipikal perempuan yang susah diatur, bebal, keras kepala dan masih banyak sikap dan sifat kurang baik lainnya. Saya ragu bahwa saya nanti akan masih membawa sifat buruk saya itu didalam pernikahan.  Ditambah dengan hubungan pertemanan saya dengan banyak laki-laki. Secara sekolah di STM dan kebanyak teman adalah lelaki, juga teman-teman ekskul yang sudah dianggap sebagai saudara sendiri membuat saya terkadang kehilangan kontrol dalam bersikap. 

Menjelang 3 bulan pernikahan, saya banyak sekali belajar. Saya beruntung diperistri oleh lelaki yang begitu mencintai dan menyayangi saya tanpa alasan apapun. Saya banyak belajar darinya, semua tentang kebaikan. Namun masih ada yang belum bisa saya terima dari diri suami saya, tentang apabila dia marah dia selalu mendiamkan saya. Saya tidak suka caranya yang seperti itu. Saya belum bisa dan belum biasa dengan perlakuan seperti yang dilakukan dia terhadap saya ketika sedang marah. Saya tau, ada hal-hal yang saya lakukan sehingga dia bersikap begitu. Sampai pada beberapa hari yang lalu kami bertengkar. Tentu, pada mulanya dia hanya mendiamkan saya. Saya yang pada dasarnya terlalu apatis dan tidak selalu menyadari apa kesalahan yang diperbuat berbalik marah padanya. Saya masih belum terima kalau kejadian seperti ini akan sering berulang. Belakangan saya tahu, bahwa ini adalah cara  ang tepat yang dia lakukan untuk meluapkan kekesalan. Bahwa diam adalah cara lebih baik dibandingkan harus marah dan berkata kasar.

Saya selalu berusaha untuk menjadi istri yang baik. Mencoba bangun lebih awal dari sang suami yang masih pulas dalam tidurnya. Menyiapkan sarapan pagi, makan siang juga makan malam. Berusaha untuk tidak membiarkan cucian menumpuk dan membersihkan rumah pada pagi atau sore hari. Membuatkan masakan kesukaan suami, juga mencoba membuat masakan-masakan yang sebelumnya saya tidak bisa. Tapi ada yang saya lupa, bahwa menjadi seorang istri bukan hanya untuk memasak, mencuci atau membersihkan rumah saja. Lebih dari itu, istri yang baik adalah yang bisa menjaga amanah suaminya. 

Hal sepele, namun jika didiamkan akan menjadi masalah besar. Begitulah yang sering dikatakan oleh kakang, suami saya. Beberapa hari yang lalu saya kedapatan berbincang dengan seorang teman lelaki melalui pesan singkat. Hanya percakapan sederhana dan tidak bermaksud apapun. Teman yang sudah saya anggap sebagai saudara sendiri, teman yang saya pikir tidak akan menjadi soal ketika saya berbincang dengannya meski hanya melalu pesan singkat. Dan ternyata saya salah, akan berbeda ketika kita sudah menjadi istri seseorang. Banyak yang harus dibatasi meskipun hanya sekedar pesan singkat. "Kalau cuman yang dipikirin masak, nyuci, beresin rumah, aa juga bisa, gak perlu ngandelin istri, tugas istri bukan hanya sekedar itu,  tapi soal ini",  Kakang menunjuk dadanya. Jleb, kalimatnya membuat saya merenung. "ada perasaan yang harus dijaga, meskiipun cuman ngobrol biasa. aa sayang, makanya aa marah, aa gak mau nantinya ada timbul fitnah" Masya allah, saya bahkan belum berfikir sampai sejauh itu. Aa maaf, Allah maaf untuk kekhilafan ini.

Banyak hal-hal yang mungkin disepelekan, tapi akan berdampak buruk  jika terus dibiarkan. Dari kejadian ini saya menyadari beberapa hal. Bahwa ternyata diamnya seseorang yang sedang marah itu bukan hanya sekedar mendiamkan. Tapi lebih kepada menjaga agar tidak usahlah memulai pertengkaran, membentak bahkan sampai mengeluarkan kata kasar. Nanti jika suasana mulai dingin, semua akan bisa dibicarakan. Juga, tentang amanah yang diberikan suami untuk menjaga. Menjaga harga diri, menjaga aurat serta kemaluan, menjaga kehormatan dan yang pasti adalah menjaga hati pasangan.

Semoga tulisan ini bisa menjadi bahan pelajaran untuk yang belum, yang akan, dan yang sudah menjalani pernikahan. Semoga kita senantiasa selalu dilindungi dari sifat dan sikap tercela. Semoga senantiasa kita dijauhkan dari segala fitnah di dunia juga di akhirat. Menjadi pribadi yang dari ke hari semakin dan semakin lebih baik. 


Hamasah!!!!!! Innallaha ma'ana :)




2 komentar:

  1. waaah tehhh... kerenn tulisannya... ternyata yang udah menikah hal-hal sepele kayak gitu jadi lebih sensitif banget yahh.. harus belajar dari sekarang nih... hehehe.. thx for sharing tetehhh... semoga bahagia selalu sama kakangnya.. dan seneng juga liat teteh sekarang makin cantik setelah nikah kerudungnya panjang-panjang... :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. eheheh makasih udah mampir neng, alhamdulillah bisa berbagi biar jadi pelajaran dan jangan sampe kayak aku :D
      alhamdulillah masih belajar ini juga ;)

      Hapus